Sabtu, 12 Maret 2011

Gempa Jepang 11 Maret 2011

Gempa yang baru aja terjadi dan mengagetkan kita bersama, terjadi pada pukul 05:46 (GMT) atau 14:46 (JST) dengan magnitudo 8.9 dengan kedalaman 25 km, 130 km di sebelah timur kota Sendai (berdasarkan data USGS). Gempa ini terjadi pada wilayah subduksi pertemuan lempeng Pasifik dan Eurasia. Sehingga berdasarkan jalur lempengnya sendiri, maka tsunami (harbour wave) bisa diperkirakan mencapai wilayah Indonesia timur, Hawaii, dan Amerika barat.

Tsunami setinggi 10 meter menghantam kota Sendai (Miyagi prefecture), depo minyak terbakar, kendaraan hanyut, namun kerusakan bangunan tidak separah kalau kita misalkan gempa ini terjadi di Indonesia. Jepang sudah mematuhi Building Codenya dengan baik. Namun menurut Bapak Irwan Meilano seperti yang beliau katakan di koran tempo, beliau memiliki rekan yang meneliti dan mengantisipasi gempa di Tohoku University di kota Sendai sendiri. Jepang adalah satu-satunya negara yang memiliki pengamatan GPS kontinu setiap 10 km dari pulaunya, memiliki jaringan Ocean Bottom Seismometer (OBS) ter-rapat di dunia, memiliki ahli kegempaan terbaik. Namun gempa yang terjadi kemarin adalah rahasia Tuhan yang tidak dapat diprediksi manusia, meskipun sudah ada aktivitas di daerah ini beberapa hari sebelumnya (situs)

Kemarin sekitar jam 1 sendiri (jam di Indonesia), aku sedang ikut kuliah Prof. Asanuma yang baru datang dari Sendai. Dan entah bagaimana kabar keluarga beliau, dan entah bagaimana nasibnya dengan kepulangan beliau ke Jepang yang direncanakan akhir minggu ini. Sabar ya, Pak.

Ada lagi satu hal menarik setelah membuka situs boston yang memperlihatkan gambaran masyarakat Jepang pasca gempa. Tidak seperti di Indonesia, kita tidak menemukan masyarakat yang berlinangan air mata disana. Mereka cukup siap, apalagi diberitakan jumlah kematiannya sedikit untuk gempa sebesar itu.

Menurut yang aku baca di sebuah situs, Jepang memiliki Tsunami Warning System di 6 regional, yang mengirimkan sinyal dari 180 stasiun seismik dam 80 sensor kapal yang dimonitor 24 jam sehari dengan Earthquake and Tsunami Observation System (ETOS). Kemudian Japan Meteorological Agency (BMKG-nya Jepang) akan mengirimkan warning lewat TV, sirene dan loudspeaker di setiap area lokal yang menandakan wajib evakuasi. Jepang juga membangun pintu air (floodgate) dan breakwater di daerah pantai. Semua sistem peringatan ini didanai $20 juta per tahun.

Akibat gempa Kobe 1995, Jepang semakin strict dengan masalah kode bangunan. Dari sejarah kegempaan sendiri,di Sanriku (masih di daerah Miyagi) terjadi gempa dengan magnitudo 8.5 pada tahun 1896 dan dengan magnitudo 8.1 pada tahun 1931. Gempa 11 Maret 2011  ini tercatat sebagai gempa terbesar ke-7 di dunia (dan data usgs pun berubah karenanya).

Mari kita berdoa untuk Jepang, semoga negara tersebut cepat pulih. Kalo gak, bagaimana nasib dengan elektronik, teknologi, ilmu dan hiburan :) yang bisa kita serap dari Jepang?

Sabtu, 05 Maret 2011

Gempa Padang 30 September 2009

Gempa yang terjadi satu setengah tahun yang lalu itu masih meninggalkan sisa2 kekhawatiran di mata masyarakat Sumatera Barat. Gempa yang terjadi pada kedalaman 81 km dan berada lebih dekat dengan pantai Padang dibandingkan zona subduksi sebelah barat Mentawai ini cukup mengguncang bangunan di Sumatera Barat, yang seperti halnya bangunan di Indonesia lainnya, tidak cukup kuat untuk menahan gempa. 
Lalu, apakah gempa tersebut merupakan yang selama ini dikhawatirkan oleh para peneliti akan mengguncang wilayah Sumatera Barat, Mentawai dan sekitarnya, atau dengan kata lain gempa besar berpotensi tsunami yang selama ini diprediksikan?
Gambar disamping menunjukkan area yang telah sobek akibat gempa yang terjadi di jalur subduksi sepanjang Sumatera. Misalnya akibat gempa Aceh 2004, gempa Nias 2005 dan gempa Bengkulu 2007. Gambar tersebut menunjukkan adanya area yang belum sobek di sekitar Sumatera Barat (warna jingga).
Tulisan lengkapnya ada disini.
Apabila terjadi gempa yang dapat merobek seluruh area yang belum sobek ini, maka diperkirakan gempa tersebut dapat mencapai magnitudo 8 - 9 SR. Sebuah simulasi tsunami memperkirakan pencapaian tsunami hingga  20 km dari pinggir pantai Padang setinggi 2 m. Namun itu adalah kemungkinan apabila hanya terjadi satu kali gempa besar, lain halnya apabila sobeknya area tersebut terjadi secara 'cicilan' oleh gempa2 kecil, sehingga dapat mengurangi potensi gempa besar tersebut. (Misalnya dengan gempa Mentawai Oktober 2010 kemarin, meskipun merupakan gempa 'cicilan', namun cukup memakan korban yang banyak. Namun setidaknya gempa tersebut mengurangi potensi gempa besar, meskipun kontribusinya tidak terlalu menenangkan.)
Zona subduksi adalah zona pertemuan dua lempeng, dimana salah satu lempeng memiliki densitas yang lebih berat, sehingga terjadi penunjaman terhadap lempeng yang densitasnya lebih ringan. Zona subduksi biasa terjadi pada pertemuan lempeng samudera terhadap lempeng benua.
Kemudian apabila dilihat dari lokasi gempa tersebut terhadap jalur subduksi sendiri, gempa tersebut tidak berada pada zona Wadati-Benioff (sepanjang jalur subduksi atau perbatasan lempeng).
Pernyataan ini juga diperkuat dalam paper McCloskey. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada potensi gempa besar dan terjadinya tsunami di daerah Mentawai dan Sumatera Barat.

P.S Untuk pemerintah daerah sendiri, saat aku pulang kampung, aku sering denger di radio kalau pemerintah sudah menyediakan shelter2, kantung2 mayat, peta evakuasi, dll. Namun menurut pendapat aku sendiri sebagai putra daerah, hal ini bukannya malah menenangkan masyarakat bahwa warga Sumbar sudah siap menghadapi bencana. Yang ada malah terjadi kepanikan, berarti masyarakat Sumbar sudah harus siap2 mati... Begitulah pendapat banyak orang yang aku temui. Mungkin sebaiknya media tidak usah terlalu heboh dengan persiapan menghadapi bencana yang sudah dijalankan pemerintah, tetapi cukup instansi tertentu saja yang tahu. Kalau mau pamer udah siap, buat apa juga toh....

Contohnya saja, waktu itu pas di Padang sekitar bulan Desember, aku ngerasain sendiri gempa berskala 5 SR dengan kedalaman 15 km di sekitar kota Padang. Gempa ini terjadi di darat, namun guncangannya sangat kerasa. Orang2 berlarian kesana kemari, langsung naik ke tempat yang tinggi, jaga2 munculnya tsunami. Seluruh kegiatan terhenti, sekolah libur, macet dan klakson dimana2, warga benar2 panik. Menurut aku ada bagusnya, berarti masyarakat sudah tau apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa. Tapi sayangnya, akibat keadaan yang chaos ini, ada juga nyawa yang hilang akibat tabrakan, lari2an, dsb. Semoga di masa depan masyarakat Indonesia bisa lebih tenang dan bertindak cerdas dalam menghadapi bencana.

Gempa Kobe 1995


Salah satu gempa yang merusak dalam catatan sejarah adalah gempa yang terjadi di Kobe, Jepang. Gempa ini terjadi pada tanggal 16 Januari 1995 pukul 20:46 (GMT) atau 17 Januari 1995 pukul 05:46 (JST). Meskipun magnitudonya hanya 6.8 SR, namun gempa ini berlokasi di kedalaman 18 km di barat daya kota Kobe, tepatnya di Selat Akashi yang memisahkan pulau Honshu dan pulau Shikoku (Awaji Island). Korban yang tercatat USGS antara lain 5502 kematian dan 36.896 luka2. Banyaknya korban juga disebabkan oleh terjadinya pemadaman listrik, semburan api dan air serta tekanan bangunan terhadap tanah.
Jepang merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Laut Filipina dan lempeng Pasifik. Gempa Kobe sendiri terjadi akibat penunjaman lempeng Laut Filipina terhadap lempeng Eurasia (Palung Nankai). Sesar yang bergerak akibat gempa tersebut adalah sesar Nojima (Awaji Island), yang menunjukkan pergerakan geser ke kanan (right-lateral strike-slip) sepanjang 9 km dengan besar pergeseran 1,2 - 1,5 m. 
Kemudian, batuan yang berada di bawah permukaan daerah sekitar Kobe merupakan sedimen aluvial yang mengandung fluida. Meskipun bangunan di Jepang sudah memenuhi standar Building Code, namun akibat batuan bawah tanahnya yang lunak, bangunan2 di Jepang mengalami keruntuhan akibat likuifaksi (infiltrasi cairan dalam tanah sehingga menyebabkan batuan menjadi lunak, sehingga fondasi bangunan tidak kuat menopang, akibatnya batuan tertarik ke dalam tanah).

Menurut paper yang dibuat oleh Zhao et al yang dimuat jurnal Science Tomography of the Source Area of the 1995 Kobe Earthquake : Evidence for Fluid at the Hypocenter, lokasi hiposenter gempa ini sendiri berada pada wilayah yang mengandung fluid.

Misal dari cross section disamping, dari seismisitas yang diperoleh dari mainshock dan aftershock mulai dari magnitudo 1.5 dari sesar Nojima hingga sesar Suwayama. Poisson' ratio (rasio gelombang P dan S yang menunjukkan batuan semakin rigid apabila angka Poisson' ratio nya makin kecil) berwarna kuning menunjukkan harga yang semakin besar. Lokasi sekitar hiposenter (bintang) menunjukkan angka Poisson' ratio yang besar, artinya bahwa daerah tersebut banyak mengandung fluida.

Sebenarnya, apakah yang menyebabkan gempa bisa terjadi pada daerah yang mengandung fluida?
Gempa yang sama juga terjadi pada wilayah sesar Yamazaki (sejajar Palung Sagami, atau batas lempeng Pasifik dan lempeng Laut Filipina), bahwa hiposenternya juga berada pada daerah yang mengandung fluida.