Sabtu, 13 Agustus 2011

FTV Jadul - "Jangan Panggil Aku Cina"

Aku mau berbagi sedikit tentang sebuah film yang selalu terngiang2 sejak tahun 2002 pertama kali film ini tayang di FTV SCTV sampai sekarang. Judulnya "Jangan Panggil Aku Cina", yang dibintangi oleh Leony dan Teddy Syah, lokasi syuting di Sumatera Barat. Ceritanya sangat riil, sebagai orang Minang aku mengakui konflik yang ada dalam film ini memang sering dipertanyakan dan diperdebatkan orang2 Minang sendiri. Alhamdulillah film ini tayang dan mengedukasi banyak masyarakat, namun sayangnya film ini hanya FTV, tidak booming di bioskop, dan acting pemerannya masih sangat minimalis. Aku berharap film ini di-remake, secara ceritanya sangat bagus dan bermanfaat dan OST-nya juga menyentuh hati.

====

Cerita berawal dari seorang gadis keturunan Cina bernama Olivia (Leony) atau Pia, yang tinggal di Pondok (Pecinan di kota Padang). Keluarganya miskin, ia hidup dengan ibu, nenek dan seorang kakak laki2 angkat yang bukan orang Cina. Dari kecil ia sudah berteman dengan orang2 Minang, sehingga dia merasa dirinya adalah gadis Minang, dan ingin menikah sebagaimana adat Minang. Sementara itu, kakak laki2 angkatnya Remon, suka berjudi. Uang penghasilan dari penjualan usaha keripik balado keluarga pun diambil Remon untuk berjudi, sampai ia tak sanggup lagi membayar hutang2nya.

Suatu hari, seorang dokter yang baru bekerja di sebuah Puskesmas bernama Yusril (Teddy Syah) dimintai pertolongan oleh anak pertama dari mamaknya (mamak adalah saudara laki2 dari ibu) untuk membeli keripik balado di malam hari. Takdir mempertemukan ia dengan Pia, satu2nya toko keripik balado yang masih buka saat itu. (Sebagai orang Padang aku mengakui, yang jualan keripik balado di Padang emang orang Cina semua, wkwkwkwk...) Yusril pun membawa keripik balado pesanan itu ke rumah Mamaknya.

Yusril yang baru saja diangkat menjadi dokter tentu saja menarik perhatian keluarga Mamaknya. Apalagi Mamaknya-lah yang membiayai biaya perkuliahan Yusril. Istri si Mamak pun terfikir untuk menjodohkan Yusril dengan putri keduanya, Ana. Hal ini yang kita sebut dengan baliak ka bako, dimana anak dari seorang laki2 menikah dengan salah satu anggota keluarga besar laki2 tersebut. (Bako adalah keluarga ayah) Dan di usianya yang sudah hampir 30 tahun, ternyata Ana juga sudah lama memendam rasa pada Yusril. Maka ibu Ana pun sangat bersemangat menjodohkan Ana dan Yusril, apalagi beliau sangat yakin Yusril akan menerima pernikahan tersebut, karena sudah sepatutnya kemenakan yang sudah dibiayai sekolahnya oleh mamaknya mematuhi perintah mamaknya, termasuk menikahi anak dari mamaknya.

Di sisi lain, Yusril dan Pia pun semakin saling mencintai. Suatu saat, Pia dimintai tolong untuk merias pengantin. Disaat itulah dia baru mengetahui bahwa laki2 yang berasal dari Pariaman itu dibeli dengan uang penjemput. Uang penjemput merupakan adat yang dahulunya dipakai di seluruh daerah di Sumatera Barat. Namun kemudian tinggal beberapa daerah saja yang masih memakai adat itu, contohnya Padang dan Pariaman. Uang penjemput itu bukan untuk membeli laki2, tetapi sebagai penghormatan kepada keluarga laki2 yang telah membesarkan anak laki2 tersebut, karena untuk selanjutnya laki2 akan bertanggung jawab pada keluarga barunya. Pia pun diberi tahu bahwa laki2 bertitel dokter dan insinyur memiliki harga yang paling tinggi di Pariaman.

Betapa hancur hati Pia, ketika mengetahui ternyata Uda Yusril adalah orang Pariaman, dokter pula. Namun Yusril tak gentar, ia tetap melamar Pia dan memperkenalkan Pia pada ibunya. Ibu Yusril sangat marah karena wanita pilihan Yusril adalah gadis Cina. "Kenapa harus Cina, nak? Masih banya gadis Minang yang cantik2! Lalu bagaimana dengan agamanya?" Kemudian Yusril meyakinkan bahwa memang masih banyak gadis Minang yang cantik, tetapi pilihan hatinya jatuh pada Pia. Dan untuk urusan agama, ia yakin Pia bisa mengikuti suaminya.

Hal ini pun sampai ke telinga keluarga Mamak. Mereka pun kesal, kemudian menyampaikan syarat kepada Yusril apabila Yusril tidak mau menikahi Ana, yaitu Pia harus membayar uang penjemput sebesar 40 juta (ingat, ini settingannya tahun 2002 loh..). Ibu Yusril yang awalnya sudah merestui hubungan Yusril dan Pia pun jadi bingung. Bagaimana mungkin Pia bisa membayar 40 juta sementara keluarga Pia sangat miskin. Diam2, Yusril menjual mobilnya dan mendapat uang 20 juta dari penjualan mobilnya.

Sementara di keluarga Pia sendiri, ternyata nenek Pia menyimpan koin2 berharga yang nilainya bisa mencapai 40 juta. Beliau tidak pernah memberitahukan siapapun tentang koin2 emas itu, hingga akhirnya ada saat yang tepat untuk mengeluarkannya. Namun ternyata Remon pun memiliki hutang dengan nilai yang sama. Dan apabila tidak dibayarkan, rumah mereka akan disita. Pia pun mulai mengalah dan berniat menunda pernikahannya dengan Yusril dan membiarkan uang dari koin2 emas itu dibayarkan untuk hutang Remon. Namun ternyata Yusril mengajukan usul lain, ia punya 20 juta, dengan meminjam uang 20 juta lagi, mereka tidak perlu menunda pernikahan mereka.

Setelah perenungan panjang di keluarga Mamak, begitu juga Ana yang kemudian ikhlas melepas Yusril, mamak pun kemudian tidak tega melihat kondisi kemenakannya. Ia pun memanggil Yusril dan memberikan Yusril uang tunai 40 juta. "Uang itu silakan kau pakai untuk melanjutkan kuliahmu. Aku tidak keberatan kamu menikah dengan siapapun, jika itu wanita pilihanmu, aku tidak akan ikut campur. Maka aku membatalkan syarat uang penjemput itu." Yusril pun berterima kasih pada Mamaknya, dan kemudian ia dapat melangsungkan pernikahan dengan Pia, dengan uang penjemput simbolis menggunakan uang yang diberikan oleh Mamak sendiri, yang dibuat seolah2 berasal dari Pia.

====

Hikmah dari cerita diatas adalah, jikalau cinta, maka berbagai macam kesulitan dapat diatasi bersama, dan jika jodoh maka Tuhan akan selalu menunjukkan jalan terbaiknya. Jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Manusia boleh berusaha, tapi Tuhan yang menentukan. Tidak ada persyaratan suku dalam hal jodoh.

Selain itu, pesan lain yang tersirat adalah mengenai adat Minang, terutama adat "membeli" di Pariaman. Memang ada makna tertentu yang tersirat dalam "uang penjemput" itu. Tapi di zaman modern ini, sudah sedikit keluarga yang masih menggunakan adat tersebut. Lagipula, hal itu hanya sekedar simbolis, mengenai dari mana uang itu berasal, bisa saja didiskusikan antara keluarga, karena untuk selanjutnya pemakaian uang tersebut juga akan tergantung oleh keluarga masing2. Apakah untuk keluarga baru kedua mempelai, atau untuk keluarga pihak laki2 saja, dsb.

Film ini lumayan menjawab banyak pertanyaan tentang adat Minang beli membeli yang satu ini, yang aku sendiri juga ribet mikirinnya. Kalau pendapat aku sendiri sih, keluarga yang baik adalah yang tidak mematok uang penjemput, karena anak laki2 yang mereka besarkan toh tidak bisa dinilai dengan uang, karena sebanyak apapun uang tak akan bisa membeli seorang laki2 Minang. :)

Jumat, 05 Agustus 2011

Puisi Sepanjang Masa

Aku pengen berbagi dikit sebuah puisi sepanjang masa yang selalu aku suka, sejak SD waktu pertama kali aku denger puisi ini di pelajaran Bahasa Indonesia, ampe sekarang, dan mungkin ampe masa yang akan datang. Karena maknanya.. terlalu indah dan terasa sampe ke hati.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan api kepada kayu
yang menjadikannya abu…

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada…

Karya : Sapardi Djoko Damono 


Puisi ini menyatakan ketulusan cinta seseorang. Kita akan mencintai seseorang dengan sederhana, tanpa meminta yang macam2, dan membiarkannya mengalir begitu saja. Memberikan perhatian, namun tak sempat mengungkapkan, bahkan hingga suatu saat cinta itu pun hilang begitu saja.

Tapi ya udah, biarin aja. Karena kita hanya mencintai seseorang dengan sederhana, tanpa harapan dan perhatian yang berlebihan. Tapi, kok katanya "ingin" ya.. Jangan2 pada kenyataannya, si penulis "terlalu" mencintai seseorang yang meninggalkannya, tapi ia berusaha agar cintanya tidak sedalam yang dia rasakan, karena ia harus mengikhlaskan. Jadi... ??? (i also still don't get the meaning of this poem *sigh..)